Nasionalisme merupakan pembahasan klasik yang sampai saat ini masih diperbincangkan. Khususnya di kalangan remaja pada zaman yang terbawa arus globalisasi pop culture. Tak perlu diperdalam untuk dibahas lebih lanjut. Karena secara kasat mata sudah terlihat dengan jelas koridor perjalanan hidup remaja saat ini sudah berbelok menyimpang. Untuk itu diperlukan konsolidasi ulang dalam upaya perbaikan koridor perjalanan hidup para remaja. Lebih menjurus kepada mereka yang pada dasar hatinya masih menyimpan semangat kegigihan yang selalu menyala.
Siapakah remaja yang di dasar hatinya masih menyimpan semangat kegigihan tersebut? Tentunya merekalah para remaja yang selalu ditempa dalam proses pedewasaan. Dalam hal ini mereka para remaja yang sudah pantas disebut sebagai seorang pemuda. Maka tak ada salahnya jika mengaitkan wujud nasionalisme para pemuda di era reformasi ini.
Sudah tampak di depan mata kerusakan yang menimpa para remaja Indonesia. Terakhir adalah kasus tawuran yang terjadi di perempatan bulungan yang menewaskan salah seorang siswa kelas X. Ini merupakan duka bagi seluruh warga negara Indonesia. Bagaimana tidak? Mereka para remaja adalah cikal bakal pemuda-pemuda yang akan lahir untuk memperbaiki bangsa. Jika di saat remaja saja sudah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat, bagaimana bisa seorang remaja seperti itu dapat bertransformasi menjadi seorang pemuda? Karena pada dasarnya seorang pemuda itu terlahir dari proses panjang yang terus berkesinambungan. Dari sejak ia dilahirkan ke dunia ini hingga ia ditempa agar menjadi remaja yang pada dasar hatinya memiliki semangat kegigihan yang menyala. Maka sangat dimaklumkan masyarkat resah akan hal ini. Generasi penerus mereka rusak. Ketika para remaja rusak, maka takkan ada harapan untuk bangkit menjadi bangsa yang maju.
Namun sebagai seorang yang peduli, seyogyanya hal seperti ini tak perlu ditangisi lebih jauh. Konsolidasi adalah hal yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Jika hanya berdiam diri dan tidak turut serta berkontribusi dalam upaya perbaikan, maka sebenarnya yang salah bukanlah mereka para remaja yang sudah keluar dari koridor mereka. Tapi, orang yang hanya bisa menyerocos saja perkataannya yang perlu disalahkan. Karena kependekan akal tanpa rasionalitas ia mengeluarkan kata-kata.
Beranjak dari hal diatas, sudah sepatutnya para pemuda berperan dalam membangun bangsa ini dengan wujud nasionalisme yang nyata. Teringat dengan peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ini menjadi cambuk bagi para pemuda. Baik hati maupun akal. Mengapa? Karena peristiwa itu menjadi indikasi bahwa para pemuda pada zaman itu sudah turut berperan dalam pergerakan nasional. Dan itu menunjukkan bahwa mereka merealisasikan wujud nasionalisme dengan nyata. Lalu, bagaimana dengan para pemuda saat ini?
Di kalangan para cendekiawan, ada 3 peran yang seharusnya diemban oleh setiap pemuda diatas pundaknya. Diharapkan ketiga peran tersebut dapat dijadikan amanah dalam perwujudan nasionalisme. Apakah ketiga amanah tersebut? Tak lain adalah amanah yang dipikulkan sebagai social control, iron stock, dan agent of change. Ketiga peran tersebut menjadi tolak ukur dalam perbandingan kontribusi para pemuda dari masa ke masa.
Social control dapat didefinisikan sebagi agen yang mengawasi dan mengontrol realitas sosial. Sebagai wujud nasionalisme sudah sepatutnya para pemuda dapat berperan dalam ruang lingkup ini. Bagaimana caranya? Tentu dimulai dari hal-hal kecil saja itu sudah cukup memberikan indikasi kebangggan. Seperti halnya mempengaruhi diri untuk terus dalam koridor kebaikan dan berpihak kepada kebenaran. Karena dengannya seorang pemuda dapat menjadi moderat dan menjunjung tinggi toleransi di tengah masyarakat. Dengan tidak mengindahkan untuk berpihak kepada kebenaran. Maka peran social control ini nantinya akan menciptakan masyakarat yang diidamkan, yaitu masyarakat madani.
Iron stock dapat dipahami dari sudut pandang pengisian ruang pergerakan yang tersedia. Apa maksudnya? Disini dimaknai bahwasanya para pemuda memiliki peran pengganti dan pengisi ruang-ruang pergerakan yang telah dikosongkan oleh generasi tua. Para pemuda menjadi tumpuan utama dalam mengisi berbagai lini kehidupan yang ada dalam realitas masyarakat. Dengan begitu kompleksitas kehidupan dapat terus berjalan dengan baik dan saling berkesinambungan.
Agent of change bermakna bahwa para pemuda memiliki peran pengubah. Mereka sepatutnya berani dalam mengemukakan ide-ide cemerlang yang mereka ciptakan. Dengan perubahan menuju ke arah yang lebih baik maka semua tetek bengek sulitnya perwujudan reformasi akan berjalan dengan mulus. Bukankah semangat nasionalisme dalam hal ini dapat dijadikan pemacu dalam mewujudkan reformasi secara menyeluruh?
Ucapan terakhir diberikan kepada mereka para pemuda,
“Hai para pemuda! Jika negara ini hancur. Maka itu tak berarti apa-apa bagimu. Karena keberadaan kalian semua kehancuran dapat diputar-balikkan menjadi peradaban yang menghegemoni dunia!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar